Kandungan Kaidah ke-4 (الضرر يزال)

الضرر يزال bermakna madhorot / bahaya itu dapat dihapus / dihilangkan. 

Adapun dasar / sumber kaidah ini adalah dari sabda Rosululloh SAW :

لا ضرار ولا ضرار

“Jangan berbuat madhorot / bahaya pada diri sendiri demikian pula kepada orang lain.” 

Kaidah pokok ini mempunyai kaidah-kaidah yang lebih terperinci, antara lain:

Keadaan darurat membolehkan sesuatu yang dilarang.  

الضرورات تبيح المحظورات

Adapun sumber kaidah ini adalah QS. Al-An’am ayat 119. 

 وَمَا لَكُمْ أَلَّا تَأْكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ

“Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal  Allah telah menjelaskan kepadamu apa yang diharamkan-nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya”.

Batasan mudharat adalah suatu hal yang mengancam eksistensi manusia, yang terkait dengan panca tujuan, yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan dan memelihara kehormatan atau harta benda. Tidak semua yang terpaksa membolehkan yang haram. Namun, apabila keterpaksaan benar-benar tiada jalan lain kecuali hanya melakukan itu maka semua yang haram dapat diperbolehkan. Misalkan seorang sangat kelaparan dan tidak terdapat sesuatu yang dapat dimakan kecuali bangkai, maka bangkai itu boleh dimakan sebatas keperluannya.

Beberapa contoh pengecualian dari kaidah diatas, antara lain :

  1. Menjual kurma yang masih di pokok di bolehkan (diberi rukhsah) bagi orang-orang yang memerlukan, yaitu orang-orang yang tidak memiliki uang (untuk membeli kurma kering) sedangkan mereka memiliki kelebihan berupa kurma basah yang masih di pohon. Jual beli ini diperbolehkan sebagai kemudahan bagi mereka dan untuk menghilangkan kesusahan pada saat mereka memerlukan hal tersebut. Terkadang orang-orang yang fakir atau miskin memerlukan kurma kering untuk dimakan, lalu syari’at membolehkan jual beli kurma tersebut dengan kurma yang masih di pohon, dan ini diperbolehkan sesuai dengan kadar kebutuhan. Al-‘Araya diperbolekan selama kurma yang dijual belikan kurang dari 5 wasaq. Adapun lima wasaq kurang lebih sama dengan 615 kg. Al-‘Araya dibolehkan untuk orang yang membutuhkan ruthab dan ia tidak mempunyai uang untuk membelinya. Dan disyaratkan adanya taqabudh (serah terima barang) sebelum berpisah di tempat transaksi.
  2. Li’an yaitu mendakwa istri telah berzina. Aslinya syarat untuk li’an adalah adanya 4 saksi. Karena adanya kesulitan mendatangkan 4 saksi maka li’an tetap dibolehkan meskipun saksi yang ada tidak sampai 4 orang.
  3. Madharat itu tidak dapat dihilangkan dengan madharat lain. 

الضَّرَرُ لاَ يُزَالُ بِالضَّرَرِ

Kaidah diatas menjelaskan bahwa suatu perbuatan yang membawa kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan lain yang sebanding. Seperti orang yang sedang kelaparan tidak boleh mengambil barang orang lain yang juga sedang kelaparan. Sebab apabila demikian maka perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang sia-sia, kecuali apabila bahaya yang satu lebih besar daripada bahaya yang lain, maka berlaku kaidah : 

اذااجتمع الضرران فعليكم بأخفهما

“Manakala berkumpul dua bahaya, maka ambil lah yang lebih ringan”

Contoh kaidah :

Seseorang naik sepeda motor. Di depannya ada dua orang sedang berjalan kaki. Tiba-tiba tanda dapat dicegah lagi, sepeda motor sudah akan menubruk salah seorang pejalan kaki. Untuk menghindarinya, pengendara sepeda motor itu tidak boleh lantas membelokkan sepeda motor kearah pejalan yang satunya. Karena hal tersebut sama saja dari segi bahayanya. Lebih baik menabrakkan kearah pohon ataupun kambing di tepi jalan. 

اذااجتمعت المفسدتان فعليكم بأخفهما

“Manakala dua mafsadah berkumpul, maka ambil lah yang lebih ringan dari padanya”

Kaidah ini menegaskan tentang pilihan terbaik di antara yang buruk. Kemudaratan bisa ditentukan oleh nash, yaitu seluruh perbuatan yang dilarang oleh agama adalah mudarat. ‘Izzuddin bin Abd al-Salam menyebutkan bahwa seluruh yang haram dan yang makruh adalah mafsadah, hanya kadar kemafsadatannya yang berbeda. Sudah barang tentu kemafsadatan yang diharamkan lebih besar daripada yang dimakruhkan. Selanjutnya beliau menegaskan bahwa sesungguhnya kemaslahatan dunia dan akhirat dan sebab-sebabnya serta kemafsadatan dunia dan akhirat, tidak bisa diketahui kecuali melalui syariah. Apabila ada kesamaran, maka harus dicari dalam dalil-dalil syara’, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah, ijma’, dan qiyas yang diakui serta mencari dalil (istidlal) yang sahih. Adapun kemaslahatan dunia semata-mata, sebab-sebabnya serta mafsadah-mafsadahnya, bisa diketahui dari kemudaratan-kemudaratannya, pengalaman dalam kehidupan, adat kebiasaan, dan perkiraan yang diakui kebenarannya.

Apabila seseorang mengambil kayu atau besi milik orang lain, kemudian menggunakannya untuk membangun rumahnya, sehingga tidak mungkin mengambilnya kecuali dengan menghancurkan bangunan. Jika nilai bangunan lebih besar dari nilai barang hasil ghasab (merampas) maka harus mengganti dengan yang senilai. Namun, jika lebih rendah maka pemilik barang yang diambil berhak menuntut pencabutannya kembali barangnya dari bangunan tersebut atau menuntut ganti rugi pada pengghasab. 

Contoh lainnya adalah ketika seseorang sakit dan kata Dokter harus dioperasi sedangkan operasi itu berbahaya. Orang tersebut dihadapkan kepada pilihan : sakit terus, ataukah sakit sementara (operasi). Yang lebih bahaya adalah sakit terus maka dia harus memilih operasi.

Menolak kerusakan itu didahulukan daripada menarik kebaikan. 

دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ

Kaidah ini menegaskan bahwa apabila pada waktu yang sama dihadapkan kepada pilihan menolak kemafsadatan atau meraih kemaslahatan, maka yang harus didahulukan adalah menolak kemafsadatan. Karena dengan menolak kemafsadatan berarti juga meraih kemaslahatan. Sedangkan tujuan hukum Islam, ujungnya adalah untuk meraih kemaslahatan di dunia dan akhirat.

Kemaslahatan membawa manfaat bagi kehidupan manusia, sedangkan mafsadah mengakibatkan kemudaratan bagi kehidupan manusia. Apa yang disebut maslahat memiliki kriteria-kriteria tertentu di kalangan ulama, yang apabila disimpulkan, kriterianya sebagai berikut:

  1. Kemaslahatan itu harus diukur kesesuaiannya dengan maqashid al-syari’ah, dalil-dalil kulli (umumnya dari al-Qur’an dan as-Sunnah), semangat ajaran, dan kaidah kulliyah hukum Islam.
  2. Kemaslahatan itu harus meyakinkan, dalam arti harus berdasarkan penelitian yang akurat, hingga tidak meragukan lagi.
  3. Kemaslahatan itu harus memberi manfaat pada sebagian besar masyarakat, bukan pada sebagian kecil masyarakat.
  4. Kemaslahatan itu memberikan kemudahan, bukan mendatangkan kesulitan dalam arti dapat dilaksanakan.
  5. Perbedaan antara masyaqqoh, darurat dan mahzhurat.

Masyaqqoh adalah suatu kesulitan yang menghendaki adanya kebutuhan tentang sesuatu, bila tidak dipenuhi tidak akan membahayakan eksistensi manusia. Sedangkan darurat adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika tidak diselesaikan maka akan mengancam agama, jiwa, akal, harta serta kehormatan manusia. Dengan adanya masyaqqot akan mendatangkan kemudahan atau keringanan. Sedang adanya darurat akan memungkinkan adanya penghapusan hukum. Dengan adanya keringanan masyaqqoh dan  penghapusan madarat akan mendatangkan kemaslahatan bagi kehidupan manusia. 

Sedangkan mahzhurat adalah hal-hal yang dilarang atau diharamkan oleh syariat Islam. Mahzhurat mencakup segala hal terlarang yang berasal dari seseorang, baik berupa ucapan yang diharamkan semisal gibah, adu domba, dan sejenisnya, atau berupa amalan hati seperti dengki, hasad, dan semisalnya, atau juga berupa perbuatan lahir semacam mencuri, berzina, minum khamr, dan sebagainya.

Mengetahui syarat-syarat darurat. 

Perlu diperhatikan, tidak setiap kondisi darurat itu memperbolehkan hal yang sejatinya telah diharamkan. Ada syarat dan ketentuan darurat yang dimaksud dalam kaidah ini, antara lain:

1. Darurat tersebut benar-benar terjadi atau diprediksi kuat akan terjadi, tidak semata-mata praduga atau asumsi belaka.

Contohnya, seorang musafir di tengah perjalanan merasa sedikit lapar karena belum makan siang. Padahal ia akan tiba di tempat tujuan sore nanti. Ia tidak boleh mencuri dengan alasan jika ia tidak makan siang, ia akan mati karena alasan yang ia kemukakan hanya bersandar pada prasangka semata.

2. Tidak ada pilihan lain yang bisa menghilangkan mudarat tersebut.

Misalnya, seorang musafir kehabisan bekal di tengah padang pasir. Ia berada dalam kondisi lapar yang sangat memprihatinkan. Di tengah perjalanan, ia bertemu seorang pengembala bersama kambing kepunyaannya. Tak jauh dari tempatnya berada tergolek bangkai seekor sapi. Maka ia tak boleh memakan bangkai sapi tersebut karena ia bisa membeli kambing atau memintanya dari si pengembala. 

  1. Kondisi darurat tersebut benar-benar memaksa untuk melakukan hal tersebut karena dikhawatirkan kehilangan nyawa atau anggota badannya.
  2. Keharaman yang ia lakukan tersebut tidaklah menzalimi orang lain.

Jika seseorang dalam keadaan darurat dan terpaksa dihadapkan dengan dua pilihan: memakan bangkai atau mencuri makanan, maka hendaknya ia memilih memakan bangkai. Hal itu dikarenakan mencuri termasuk perbuatan yang menzalimi orang lain. Kecuali jika ia tidak memiliki pilihan selain memakan harta orang lain tanpa izin, maka diperbolehkan dengan syarat ia harus tetap menggantinya.

3. Tidak melakukannya dengan melewati batas. Cukup sekadar yang ia perlukan untuk menghilangkan mudarat.

Seorang dokter ketika mengobati pasien perempuan yang mengalami sakit di tangannya, maka boleh baginya menyingkap aurat sebatas tangannya saja. Tidak boleh menyingkap aurat yang tidak dibutuhkan saat pengobatan seperti melepas jilbab, dan lain sebagainya.

Sama halnya dengan orang yang sangat kelaparan di tengah perjalanan. ia boleh memakan bangkai sekadar untuk menyambung hidupnya saja. Dengan kata lain tidak boleh mengonsumsinya hingga kenyang, melewati kadar untuk menghilangkan mudarat yang dialaminya.

Mengetahui batasan suatu hal dikatakan darurat.

Darurat

Suatu perkara yang jika seseorang meninggalkannya, maka ia akan tertimpa bahaya dan tidak ada yang bisa menggantikannya.
Contoh : Jika seseorang terpaksa harus makan dan tidak ada makanan selain bangkai. Seandainya ia tidak makan bangkai, ia bisa terkena bahaya dan tidak ada pengganti yang bias dimakan kala itu. Maka hukum memakan bangkai menjadi boleh. 

Hajat

Sesuatu yang bila ditinggalkan, maka bisa mendatangkan bahaya, akan tetapi masih bisa diganti dengan yang lain.

Contoh : Diterangkan dalam suatu riwayat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menambah bejana (wadah) dengan perak. Padahal bisa saja wadah tersebut ditambal dengan besi atau kuningan dan lainnya. Beliau melakukan seperti itu karena adanya hajat.

Manfaat

Sesuatu yang jika dilakukan akan mendapatkan manfaat dan jika ditinggalkan tidak mendapatkan dhoror  (bahaya). 

Contoh : Orang yang terpaksa makan ketela, padahal dia ingin bisa makan nasi. 

Ziinah

sesuatu yang jika dilakukan akan mendapatkan manfaat, dan jika tidak ada -sedikit atau banyak-, maka tidak mendapatkan bahaya.
Contoh : orang yang terpaksa hanya makan nasi dan lauk sederhana, padahal dia ingin makan dengan lauk yang mewah.

Fuudul

sesuatu yang jika secara sendirian (sedikit), maka tidak menimbulkan  dhoror  (bahaya), dan jika banyak, maka menimbulkan dhoror  (bahaya). Contoh : orang yang bisa makan dengan cukup, tetapi dia masih ingin berlebih-lebihan sehingga menyebabkan ia makan makanan haram atau syubhat.