Islam membolehkan transplantasi organ tubuh dari orang hidup sehat kepada pasien penderita setelah melakukan serangkaian pengobatan medis dan non medis yang mengharuskan transplantasi sebagai cara pengobatannya dengan ketentuan:

  1. Pengambilan organ tubuh dari pedonor tidak membahayakan nyawanya dan tidak menghilangkan fungsi organ tersebut seperti sedia kala.
  2. Donasi organ tubuh tersebut bukan paksaan dari pihak lain.
  3. Transplantasi merupakan satu-satunya pengobatan medis yang memungkinkan untuk menyelamatkan jiwanya.
  4. Adanya jaminan medis akan kesuksesan transplantasi organ tubuh tersebut, baik pada pedonor dan resepien (penerima donor).

Adapun hal lain yang lebih dibolehkan dalam Islam adalah:

  1. Pedonor adalah orang yang telah meninggal dunia, ketentuannya adalah mukallaf dan telah mengizinkan ketika hidupnya.
  2. Transplantasi organ berasal dari hewan yang halal dagingnya bila disembelih dan juga dari organ hewan lainnya yang tidak halal dagingnya bila disembelih.
  3. Mengambil bagian tubuh dari diri seseorang sendiri untuk ditaman pada  bagian tubuh lainnya, baik berupa tulang atau kulit.
  4. Menanam organ tubuh sintetik dari logan untuk memfungsikan organ fital dalam tubuh seseorang, seperti alat pacu jantung dan lain semisalnya.

Donor darah adalah suatu kegiatan pemberian atau sumbangan darah yang dilakukan oleh seseorang secara sengaja dan sukarela kepada siapa saja yang membutuhkan transfusi darah. Transfusi darah adalah memanfaatkan darah manusia dengan cara memindahkannya dari tubuh orang yang sehat kepada tubuh orang yang membutuhkannya, untuk mempertahankan hidupnya atau menyelamatkan jiwanya.

Manusia tidak dapat hidup tanpa darah karena semua jaringan tubuh memerlukan darah. Otak manusia membutuhkan darah yang mencukupi dan teratur. Jika tidak menerima darah dalam tempo lebih dari empat menit, maka sel otak akan mati. Salah satu manfaat donor darah adalah bahwa darah dari pendonor dapat menyelamatkan jiwa orang lain secara langsung.

Hukum mempergunakan darah:

Pada dasarnya, darah yang dikeluarkan dari tubuh manusia termasuk najis menurut hukum Islam. Maka agama Islam melarang mempergunakannya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Keterangan tentang haramnya mempergunakan darah, terdapat pada beberapa ayat.

Penerima donor (recipient)

Para ulama menggolongkan donor darah sebagaimana “makan” bukan “berobat”. Dengan demikian, pada hakikatnya, orang yang melakukan donor darah dianggap telah memasukkan makanan berupa darah ke dalam tubuhnya. Untuk itu, ulama memberikan batasan, bahwa donor darah diperbolehkan jika dalam kondisi darurat sesuai dengan kaidah fiqh : 

الضرورات تبيح المحظورات

“Keadaan darurat membolehkan sesuatu yang dilarang.”

Dalil dalam masalah ini adalah firman Allah,

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah ….” (Q.s. Al-Maidah:3)

Kemudian, di akhir ayat, Allah menyatakan,

فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Barang siapa berada dalam kondisi terpaksa karena kelaparan, (lalu) tanpa sengaja (dia) berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang ….” (Q.s. Al-Maidah:3)

Allah memperbolehkan hamba-Nya untuk memakan makanan yang diharamkan jika dalam kondisi terpaksa, karena kelaparan. Dalam kondisi yang sama, orang sakit yang hendak menyelamatkan nyawanya, diperbolehkan untuk memasukkan darah ke dalam tubuhnya, karena kondisi terpaksa.

Bolehnya transfusi darah hanya sekedar kebutuhan untuk mempertahankan kehidupan. Misalnya seseorang menderita  kekurangan darah karena kecelakaan, maka hal itu dibolehkan dalam Islam untuk menerima darah dari orang lain, yang disebut “transfusi darah”. Hal tersebut, sangat dibutuhkan (dihajatkan) untuk menolong seseorang dalam keadaan darurat, sebagaimana firman Allah swt dalam surah al-Baqarah (2) ayat 173, yang artinya:

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ ۖ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang (yang ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya” …

Pendonor

Seseorang diperbolehkan melakukan donor darah, selama proses donor tersebut tidak membahayakan dirinya. Dalil dalam masalah ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لا ضرر ولا ضرار

Tidak boleh menimbulkan bahaya atau membahayakan yang lain.” (HR. Ibnu Majah dan Ad-Daruquthni; dengan derajat hasan)

Menyumbangkan darahnya kepada seseorang yang membutuhkan adalah pekerjaan kemanusiaan yang sangat mulia. Hal ini karena dengan mendonorkan sebagian darahnya berarti seseorang telah memberikan pertolongan kepada orang lain, sehingga seseorang selamat dari ancaman yang membawa kepada kematian. Menyumbangkan darahnya dengan ikhlas kepada siapa saja termasuk amal kemanusiaan yang amat dianjurkan oleh Islam, dan dengan izin Allah akan berdampak pula pada adanya pahala. Seperti halnya orang memberi makan kepada orang lapar yang terancam akan mati. Hal ini sejalan dengan firman Allah swt dalam surah al-Maidah (5) ayat 32;

مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا

“Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.”

KESIMPULAN

Bila keadaan darurat dan tidak ada obat yang suci maka darah diperbolehkan:

ذﻛﺮﻧﺎ أن ﻣﺬﻫﺒﻨﺎ ﺟﻮاز اﻟﺘﺪاوي ﺑﺠﻤﻴﻊ اﻟﻨﺠﺎﺳﺎت ﺳﻮى اﻟﻤﺴﻜﺮ

“Telah kami sampaikan bahwa madzhab Syafi’i membolehkan berobat dengan semua najis selain hal-hal yang dapat memabukkan.” (Al-Majmu’ 9/53)

واﻟﺘﺪاوي ﺑﺎﻟﻨﺠﺲ ﺟﺎﺋﺰ ﻋﻨﺪ ﻓﻘﺪ اﻟﻄﺎﻫﺮ اﻟﺬي ﻳﻘﻮم ﻣﻘﺎﻣﻪ

“Pengobatan dengan najis adalah boleh jika tidak ada obat yang setara dengan benda najis tersebut.” (Bujairimi Khatib 1/314)

Ulama Al-Azhar dengan Syekh Hasan Ma’mun sebagai Muftinya, secara khusus memfatwakan hukum donor darah ini dalam Fatawa Al-Azhar 7/256:

ﺇﻧﻪ ﺇذ ا ﺗﻮﻗﻒ ﺷﻔﺎء اﻟﻤﺮﻳﺾ أو اﻟﺠﺮﻳﺢ وﺇﻧﻘﺎذ ﺣﻴﺎﺗﻪ ﺃﻭ ﺳﻼﻣﺔ ﻋﻀﻮ ﻣﻦ ﺃﻋﻀﺎﺋﻪ ﻋﻠﻰ ﻧﻘﻞ اﻟﺪﻡ ﺇﻟﻴﻪ ﻣﻦ ﺷﺨﺺ ﺁﺧﺮ، ﻭﺫﻟﻚ ﺑﺄﻥ ﻻ ﻳﻮﺟﺪ ﻣﻦ اﻟﻤﺒﺎﺡ ﻣﺎ ﻳﻘﻮﻡ ﻣﻘﺎﻣﻪ ﻓﻰ ﺷﻔﺎﺋﻪ ﻭﺇﻧﻘﺎﺫ ﺣﻴﺎﺗﻪ، ﺟﺎﺯ ﻧﻘﻞ اﻟﺪﻡ ﺇﻟﻴﻪ، ﻷﻥ اﻟﻀﺮﻭﺭﺓ ﺗﻘﻀﻰ ﺑﻧﻘﻞ اﻟﺪﻡ ﻹﻧﻘﺎﺫ ﺣﻴﺎﺓ اﻟﻤﺮﻳﺾ، ﺃﻭ ﺳﻼﻣﺔ ﻋﻀﻮ ﻣﻦ ﺃﻋﻀﺎﺋﻪ

“Jika tidak ada jalan lain untuk kesembuhan orang sakit, luka, untuk menyelamatkan hidupnya atau keselamatan organ tubuh hanya dengan cara donor darah, maka hal ini diperbolehkan karena darurat. Yaitu sekira tidak ada obat yang halal yang fungsinya sama dengan darah…”Dari segi dunia kesehatan , sebagian besar ahli kesehatan menganjurkan transfusi darah. Karena manfaat tidak hanya dirasakan oleh penerima donor tapi juga pendonor. Tranfusi darah dapat menyelamatkan orang sakit yang kekurangan darah, di mana darah yang didonorkan itu menjadi sebab kesembuhan atau minimal meringankan penyakit. Hal ini tentunya atas seizin Allah SWT, tranfusi darah hanya salah satu bentuk ihtiyar manusia dalam upaya sembuh dari penyakit atau bertahan hidup. Wallahu a’lam.